Sabtu, 30 April 2011

Obsesi, Candu, dan Cinta

Sedari pagi tadi mendung. Tapi rasanya tak ada alasan untuk menancapkan kesan murung. Toh, jalan raya tetap saja penuh dengan mobil yang "pamer paha", padat merayap tanpa harapan. Mall-mall tetap saja ramai, dengan diskon weekend-nya yang menggoda iman dan membuat semua alasan menjadi mungkin untuk merogoh kocek lebih dalam. Yah, syukur-syukur kalo masih ada. Kalo pun tidak mencukupi, tetap bersyukur saja bahwa saya masih sempat jalan-jalan di antara keramaian, menikmati pemandangan barang-barang aduhai, dan tidak membelanjakan satu dua barang sekena hati saya tanpa mempertimbangkan perlu atau tidaknya dibeli saat ini. 

Dan, sore ini masih mendung sehingga lampu kamar perlu bertugas lebih awal. Jalanan semakin ramai, anak-anak kecil tetangga sebelah tetap riuh sebagaimana biasanya. Saya yang sedang in the mood segera mengambil posisi di depan meja. Minuman hangat menjadi teman akrab di sore yang seperti ini: seduhan teh hijau dengan jeruk nipis dan madu. Besok, cokelat bolehlah mengantri. 

Apa yang hendak saya uraikan sebenarnya bukanlah hal baru. Bahkan, sudah terlalu banyak yang membahasnya. Namun, sepertinya memang ia tidak akan pernah habis untuk digali, tak akan pernah bosan untuk dibicarakan, tak akan akan pernah jemu untuk diekspresikan. Kontennya kurang lebih sama. Akan tetapi, setiap orang selalu merasa memiliki pengalaman dan sudut pandangnya masing-masing, termasuk saya :D

Seputar cinta dan kawan-kawannya. Beberapa gejala mirip dan melibatkan "aku" serta "kamu". Saya akan membawa teman-temannya cinta yang juga biasa diusung dalam puisi, lagu, dan cerita: Obsesi dan Candu.

Obsesi.
Dari berbagai uraian yang tertera dalam kamus Bahasa Indonesia, obsesi selalu memiliki makna yang kurang lebih sama, yaitu sesuatu hal yang muncul terus di dalam pikiran, ada yang bilang sangat menggoda seseorang, sangat sukar dihilangkan, dan bisa menjadi gangguan jiwa. Gejala-gejala yang muncul pada orang yang terhinggapi ini sangat mungkin akan merasa gelisah, bertanya-tanya "Mengapa selalu kau yang muncul di dalam pikiranku?" atau "Mengapa kau tidak mau pergi dari pikiranku?". Tahukah kamu, tanpa sadar, obsesi bisa menjadi ilusi bagi diri. Dengan sosoknya yang terus ada di pikiran dan harapan yang muncul baik secara sadar maupun tidak sadar untuk menemukan sosok itu, seolah-olah semua orang menjadi mirip dengannya atau ia ada di mana-mana. *Ckckckck...nah loh!*

Candu.
Candu itu asal mulanya dari suatu getah kering tumbuhan jenis tertentu yang dipakai untuk mengurangi rasa nyeri dan merangsang rasa kantuk. Namun, seiring dengan semakin berkembangnya bahasa, candu seringkali dipadankan dengan sesuatu yang sangat digemari, membuat ketagihan. Jika tidak dipenuhi, maka akan membuat si pecandu merasa sangat kesakitan. Inilah yang membuat seseorang membutuhkan seseorang yang lain untuk selalu ada bagi dirinya. Berharap sangat akan keberadaannya, jika engkau tidak ada kau bisa membunuhku perlahan. maaf terlalu picisan Jadi terpikir jangan-jangan ini yang membuat seseorang menjadi begitu posesif.    

Cinta.
Kita sampai juga di sini. Cinta selalu disandingkan dengan kasih sayang, keterpikatan antara laki-laki dan perempuan, harapan, dan rindu. Kita sudah sama-sama tahu bahwa banyak yang berusaha mengartikan kata yang seringkali diagung-agungkan ini. Banyak juga yang mengatakan bahwa gejala-gejala di atas mungkin saja mengarah pada cinta. Kalau begini, seolah-olah antara satu dengan yang lainnya overlap. Saya sendiri lebih suka mengurainya dengan menggunakan istilah "aku" dan "kamu".  

Jika pada obsesi dan candu, "aku"-lah yang harus "kamu" penuhi. Posisi "aku" menjadi lebih kuat di sini dan menampakkan sisi egoisme manusia. "Kamu" bisa saja lebih dipandang sebagai objek daripada subjek. 

Akan tetapi, pada cinta "kamu" adalah subjek. Tidak selalu berarti bahwa "aku" yang "kamu" penuhi, "aku" juga ingin memenuhi "kamu". Tidak heran, jika cinta itu tidak jauh-jauh dari sifat memberi, ketulusan, dan kepedulian. "Aku" dan "kamu" inilah yang melahirkan istilah "kita", yang menempatkan keduanya dalam posisi yang seimbang dan selayaknya berkecukupan karena saling memenuhi antara satu dengan lainnya.   

Begitulah, sekiranya uraian subjektif saya mengenai cinta dan dua orang kawannya.
Selamat menikmati datangnya malam. Rembulan sedang redup, bintang tak ramai, namun lelampu jalanan masihlah semarak di kota ini. 

adenofa @Laksmi, Depok.

Senin, 10 Januari 2011

Kuasa Tuhan

Kamu tahu,
sesuatu yang melebihi logika berpikir kita,
melampaui segala target dan rencana kita yang begitu terperinci,
usaha: tenaga dan pikiran, yang dirasa maksimal,
selalu memiliki ruang untuk yang namanya kuasa Tuhan *Allahuakbar*

Apa yang mulanya kita pandang sempurna, menjadi semacam bumerang..
semacam pertanyaan yang kembali kepada kita sendiri:
apa itu kesempurnaan?
seberapa pasti ukurannya?

Apa yang mulanya kita nilai sempurna berdasarkan himpunan ilmu pengetahuan yang terekam di dalam otak kita bisa jadi sebaliknya dalam penilaian Tuhan sehingga ia menurunkan kuasa-Nya. Seberapalah ilmu kita yang diberikan Sang Maha Kuasa..

Jika Rumi mengatakan bahwa, "Tuhan bekerja secara misterius" mungkin saya lebih suka menyebutnya pengetahuan kitalah yang masih terbatas untuk memahami rencana dan kehendak-Nya. Kita perlu menyelami lebih dalam lautan ilmu-Nya untuk setidaknya mengerti hikmah yang terkandung di dalamnya.

Kita, tetaplah pada rencana-rencana baik kita. Fokus pada eksekusinya yang sejalan. Tentunya tidak keluar dari harapan-Nya. Selebihnya, kita berdoa memohonkan yang terbaik, yang tepat untuk diri kita berdasarkan pengetahuan-Nya.

Siapalah yang bisa menandingi-Nya..

Jumat, 17 Desember 2010

"Sampai Kapan?"

Alhamdulillah,
Thanks God it's Friday and it's *maybe* holiday..(ngareep..)

Hmm... senangnya kalo peer-peer dah pada beres dan dari pagi bisa browsing sana sini, trus bisa posting lagi... :D

Beberapa waktu lalu, terbersit sebuah pertanyaan sederhana: "Sampai kapan?"
Pemicunya juga sederhana, hanya dari sebuah obrolan ringan yang saya sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Obrolan para orang tua. Bukan maksud menguping, tapi memang mau tidak mau jadi ikut mendengar karena saya duduk dekat dengan mereka. Salah seorang ibu bercerita bahwa ia selalu mengantar anaknya, kelas 3 SD, ke SD yang tidak jauh dari rumahnya. Ibu yang lain bertanya yang isinya kira-kira begini, "Sampai kapan kamu mau nganterin anakmu?" Yah, begitulah pembicaraan sempat membuat sedikit perdebatan. Si ibu memberikan alasan bahwa anaknya yang dianggap masih kecil itu harus menyeberang jalan raya yang ramai sehingga masih perlu dijaga. Ibu yang bertanya menimpali, "Kan masih bisa diajarin to Bu..biar mandiri.."
Begitulah, percakapan berlanjut terus dan topiknya malah melebar. Saya tidak akan membahasnya lebih jauh.

Pertanyaan "Sampai kapan?" *tidak perlu sampai ke ujung kalimatnya* itu mengusik saya. Menimbulkan berbagai pertanyaan kepada diri saya. Pertanyaan tentang masa yang saya jalani selama ini. Sebutlah kehidupan yang membaikkan itu adalah kualitas kehidupan seseorang pada hari ini lebih baik dari hari kemaren, hari esok jauh lebih baik dari hari ini. Ah, saya rasa saya masih pontang panting untuk bisa seperti ini. Kadang masih terlena dengan kebiasaan yang buruk, sia-sia, dan tidak bermanfaat.
Misalnya, seperti ini:
Saya sering menunda-nunda tugas dan baru mengerjakannya menjelang deadline. Padahal di satu sisi, saya tahu itu bahwa itu tidak baik, bikin stress, bikin kurus, kualitas hasilnya tidak sebaik yang diharapkan. Tapi, di kemudian hari terulang lagi.
Lalu, bagian dari superego saya bertanya seperti ini: "Mau sampai kapan menunda-nunda tugasnya?"
Ego saya menjawab: :"Tapi, kan selesai tepat waktu juga. Baru bisa mikir kalo dah deket deadline *gak beres....jangan diikuti yaah :p*

Reaksi ego saya memberikan excuse atas perilaku saya. Mungkin itu yang menyebabkan saya mengulanginya lagi dan lagi. Membayangkan itu saya jadi senyum simpul sendiri. Pertanyaan itu sebenarnya membuat saya berpikir lebih jauh. Saat ini mungkin saya bisa melewatinya dengan kebiasaan saya itu, tapi nanti bagaimana? Toh, semakin bertambah umur saya, tuntutan hidup pun berbeda dan semakin beragam. Bukan tidak mungkin beban tugas semakin banyak. Apakah saya bisa bertahan dengan perilaku saya itu?

Di sisi lain, saya juga bermimpi punya kehidupan yang sukses, keluarga yang bahagia, seimbang, dan bisa berkontribusi ke masyarakat. Oh, mungkin kalau saya mau terus-terusan seperti itu, yah jangan menuntut terlalu banyak dalam hidup. Terima saja, kalau hidup saya nanti pas-pasan. Terima saja, tidak perlu iri kalau nanti teman-teman terdekat saya bisa sukses jaya gemilang. Terima saja, kalau nanti kerjaan saya itu mungkin monoton, tidak menarik dan tidak menantang. Wahhh, kira-kira saya mau nggak ya seperti itu?"

Hmm... lalu superego saya bertanya lagi, "Mau sampai kapan ber-excuse terus?" 6(o.0)"

Pertanyaan-pertanyaan "Sampai kapan?" itu hanya pemicu. Sekedar pertanyaan awal untuk merefleksi hidup, berpikir lebih jauh, mengusik keadaan kita yang terlena. Selebihnya, diri kita yang akan menjawab dan bertanya ini-itu kembali. Tapi, saya rasa tidak baik juga kalo hal itu membuat kita terlalu lama berkutat dalam pikiran, arahnya kemana-mana dan tidak punya tujuan jelas. Sisi subjektif saya ingin pertanyaan ini menjadi titik mula untuk dapat bertindak lebih matang.

Yah, begitulah... dari semua hal yang saya tuangkan sampai sini, jadi tercetus lagi pertanyaan "Jadi, apa paling penting dalam hidup ini? Apa yang paling penting untuk dicapai?" Hehe.. mudah-mudahan bisa menjadi penguat agar bisa sampai pada perilaku nyata.

Senin, 15 November 2010

Buku Baruuuuuu...... :)


Lucu, ketika aku pengen nulis lagi, buku-buku ini muncul di hadapanku. Tiba-tiba Mbakku juga jadi kepengen nulis liat buku yang tulisannya "Girl Power". Jadilah buku ini diboyong dengan serta merta. Segera dibayar biar gak keduluan sama remaja-remaja sekolahan lainnya :p

Baiklah, bukuku itu yang di sebelah kanan. Yang keliatannya warna biru, padahal buku aslinya warna ungu.

Buat aku,
Aku gak punya alasan yang kuat untuk gak beli buku ini. Selain karena ingin melancarkan kegiatan tulis menulis, jurnal harianku pun sudah habis. Buku ini begitu dibuka warna kertasnya krem dan POLOS! Dua hal yang aku suka banget dari buku catatan. Ring bukunya besi. Ring yang pake hiasan pita-pita bisa dibuka dan kertasnya bsa diisi ulang. Semakin menggoda ya buku ini, hehe.. Dan, yang tak kalah menariknya adalah tulisan "You can be creative anytime anywhere." Satu hal yang teramat penting ada di buku itu adalah kenangan aku dengan impian bikin diary sendiri dengan model scrapbook. Isinya warna kertas yang sama dan polos. Oooohhhhh merayu sekaliiii kenangan itu..... Dan, jadilah ia dibawa pulang.
Buku-buku sejenis ini bisa dipesan online juga lo ternyata, di bukuunik(dot)com. **Waaaahhhhh... harusnya aku dibayar ni ikutan promosiin produknya dia... :p **
Bikin sendiri? itu lebih mantaph dan personal! Yah, selama waktunya mendukung..

Kamis, 21 Oktober 2010

Memahami bentuk Puisi *Repost*

**Habis jalan-jalan dan menemukan hal menarik untuk dibagi kembali. Silakan menikmati**

DALAM berbagai forum diskusi yang membahas tema tentang proses kreatif penulisan puisi selalu muncul pertanyaan, dihadapkan pada pertanyaan dari seorang siswa, mahasiswa, guru, maupun dosen., apakah menulis puisi bisa dipelajari?

Secara teknis, tentu saja menulis puisi bisa dipelajari sebagaimana kita belajar ilmu bela diri pencak silat. Masalah isi dan kualitas puisi semua itu sangat bergantung pada "jam terbang" dalam pengertian seluas-luasnya. Berkait dengan itu, memahami apa dan bagaimana bentuk puisi menjadi penting adanya, sebab ia berkait erat dengan apa yang ingin diekspresikan dan dikomunikasikan kepada publik, meski benar pada satu sisi ada juga kalangan penyair yang berpendapat bahwa menulis puisi adalah untuk puisi itu sendiri dan bukan untuk yang lainnya.

**

karya sastra pada dasarnya, termasuk puisi adalah produk dari kebudayaan yang sudah berumur panjang dan entah sejak kapan dimulainya. Dalam kebudayaan Sunda, penulisan puisi tradisional bisa dilacak lewat penulisan dangding. Salah seorang penyair Sunda kenamaan pada zamannya yang menulis puisi dalam bentuk dangding adalah Penghulu Haji Hasan Mustapa. Dalam sastra Indonesia, penulisan puisi tradisional bisa dilacak lewat pantun.

Ajip Rosidi menyebut puisi tradisional itu sebagai puisi nusantara. Dengan demikian, jelas bahwa menulis puisi dalam kehidupan manusia di Indonesia khususnya dan di dunia pada umumnya bukan merupakan kegiatan yang baru. Apa sebab? Karena masing-masing suku bangsa di berbagai belahan dunia mempunyai tradisi penulisan puisi yang satu sama lainnya berbeda. Akan tetapi, secara esensial mempunyai makna yang sama, yakni berekspresi untuk menyatakan isi hatinya, entah ditujukan kepada Tuhan, alam, kekasih, atau kepada hal lainnya yang personal sifatnya.

Kekhasan puisi dibandingkan dengan teks yang lain, dalam hal ini dibandingkan dengan penulisan cerita pendek, novel, atau naskah drama, terletak pada rancang-bangunnya. Ketika puisi ditulis, yang diungkap penyair dalam larik-larik puisinya berupa kristalisasi dari pengalaman puitik, dan bukan menguraikan pengalaman puitik sebagaimana yang ditulis orang dalam bentuk cerita pendek, novel, atau naskah drama.

Bahwa apa yang disebut pengalaman puitik pada satu sisi erat kaitannya dengan fakta-fakta biografis yang dialami penyair saat ia menulis sejumlah puisi, itu memang tidak bisa dibantah. Namun demikian, pada sisi yang lain bisa dikatakan dengan tegas bahwa puisi bukanlah semata-mata uraian riwayat hidup sang pengarang secara nyata, melainkan hasil dunia rekaan yang dibentuk ulang lewat bahasa ungkap yang dikreasinya secara sungguh-sungguh.

Dalam konteks inilah saya bisa memahami dengan tegas, apa yang dikatakan Prof. Dr. A. Teeuw maupun Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, bahwa karya sastra, dalam hal ini puisi, merupakan dunia rekaan (fiksionalitas) yang bahan-bahan dasarnya berupa pengalaman puitik yang berdenyut di hati dan pikiran sang penyair. Apa yang disebut dengan pengalaman puitik pada sisi yang lain, disebut juga gagasan atau energi kreatif berupa ilham, apa pun namanya yang menggerakkan batin sang penyair untuk menuliskannya di atas kertas.

Jika di awal tulisan disebutkan bahwa secara teknis saya wajib hukumnya mengenal berbagai bentuk pengucapan puisi, karena bahasa ungkap yang diekspresikan dalam puisi imaji sebagaimana yang dikembangkan penyair Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad sangat lain dengan penulisan puisi naratif sebagaimana yang ditulis penyair Rendra dan Taufiq Ismail.

Kedua bentuk pengucapan puisi tersebut, tentu saja sangat lain dengan bentuk penulisan puisi simbolik sebagaimana yang dikembangkan almarhum penyair Wing Kardjo, dan Abdul Hadi W.M. menyebut sejumlah nama sebagai contoh model pengucapan puisi, yang kini tumbuh dan berkembang dengan amat suburnya di negeri ini.

Tiga model pengucapan puisi tersebut di atas tentu saja mempunyai perbedaan pula dengan pengucapan puisi mbeling yang digagas oleh penyair Jeihan Sukmantoro dan Remy Sylado. Demikian pula dengan pola pengucapan puisi yang dikembangkan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri yang berbasis pada mantra sebagai titik pijaknya. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang sebagian cenderung gelap itu, termasuk dalam kategori penulisan puisi untuk puisi itu sendiri bukan untuk yang lainnya.

Pendek kata, apa yang disebut puisi atau apa itu puisi sungguh banyak ragam dan jenisnya. Bahasa puisi pada satu sisi bisa dikatakan bukan merupakan bahasa yang lugas dan objektif, melainkan bahasa yang berperasaan dan subjektif. Berkait dengan itu, situasi bahasa yang diekspresikan penyair dalam puisi yang ditulisnya terkesan monolog, baik itu yang digambarkan melalui aku lirik maupun kau lirik. Sementara situasi bahasa yang diungkap dalam penulisan cerita pendek, novel, atau naskah drama cenderung dialog yang dimainkan lewat para tokoh yang direka oleh sastrawannya. (Soni Farid Maulana/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 17 Oktober 2010

Senin, 15 Maret 2010

Anak-Anak Legenda

18.45, kamar 29, Depok.

Saya kelelahan dan sempat terkapar selama beberapa menit setelah pulang dari kampus. Serangan flu yang semakin mewabah akhir-akhir ini membuat saya merindukan kasur dan selimut hangat. Ketika pada akhirnya, guyuran air “menghidupkan” saya kembali. Kemudian, saya segera menyeduh teh hijau dengan harapan virus flu ini tidak akan betah berlama-lama singgah di tubuh dan saya bisa tetap “hidup”.. ^^,v

Sambil memainkan sendok di dalam gelas yang mengepul, mata saya menangkap bentuk tulisan menarik: “Negeri 5 Menara”. Tercetak begitu manis di sisi tebal bukunya. Seketika itu, terlintas dalam pikiran saya: “Anak-anak legenda”.
Ya, “Anak-anak legenda”, begitulah yang terlintas. Apa yang membuat seseorang, sesuatu, atau kelompok pantas berada dalam suatu kisah, khususnya novel? Kalau lebih dikhususkan lagi novel "best seller" yang dipuja-puji karena inspiratif,sarat makna, dan diilhami dari kisah nyata—mulanya dari novel.

Kenapa saya menyebut mereka anak-anak legenda? Terlintas dalam benak, ketika saya ingat bagian cerita “It’s Show Time” dalam “Negeri 5 Menara” kemudian parade karnaval eksotis—saya tak ingat subjudulnya—di Laskar Pelangi.
Mereka mencipta sesuatu yang berbeda. Fenomenal dan tidak biasa. Sesuatu yang huge, extraordinary, magnificent. Di mana semua mata secara alami tertuju padanya dan decak kagum yang keluar begitu spontan—kadang-kadang saya berpikir: apakah saya yang terlalu imajinatif dalam membayangkan bagian cerita itu ya??.

Hal yang saya suka adalah mereka bekerja keras dengan tetap berupaya penuh memelihara keyakinan mereka. Bagaimanapun, menjaga keyakinan agar tetap kokoh itu memang banyak godaannya. Hal kedua yang saya suka, selalu ada orang-orang berjasa di belakang mereka. Ada sosok karakter kuat yang juga mengilhami mereka. Mereka sebenar-benarnya tidak pernah berjalan sendirian. Hal ketiga, mereka selayaknya manusia.

Dalam kisah-kisah yang sudah saya telan bulat-bulat, para tokoh menemui “celanya” masing-masing sebagai manusia. Mereka memiliki kelemahan. Mereka juga merasakan takut. Berbagai macam perasaan takut akibat persoalan hidup yang nampaknya juga kita jumpai dalam masing-masing hidup kita. Takut akan kegagalan, takut akan penolakan, takut akan dihukum, takut melanggar norma/adat, dan yang lainnya. Mereka pernah jatuh—cermati kata “pernah”—gagal, merasakan kesedihan yang juga mengarah pada depresi dan kepesimisan. Mereka kehilangan seseorang atau sesuatu yang dicintai.

Hanya dengan mengingat kisah-kisah kecil itu mungkin berlebihan rasanya untuk sampai pada sebuah kata “legenda”. Ya, betul! Maka kemudian, hal tersebut mengantarkan saya pada ingatan biografi Malcolm X, Nelson Mandela, dan beberapa tokoh besar berjasa lainnya—yang tak mungkin saya jabarkan semuanya di sini karena bukan itu intinya. Tentu saja mereka tidak—atau hanya—membuat pentas yang fenomenal seperti yang tadi-tadi.

Mereka mencipta peristiwa, penggerak perubahan. Untuk lebih mendramatisirnya: Mereka membuat suatu gebrakan fenomenal—yang nampaknya bisa berdampak sistemik. Hal yang menguatkan ketiga kata positif tadi—¬huge, extraordinary, magnificent—adalah mereka melakukannya lebih dari sekedar menciptakan kejayaan diri. Akan tetapi, untuk orang lain, kelompok, bangsa, negara, dan agama. Sesuatu yang melampui ego mereka. Sesuatu yang menyelusup ke dalam kepala dan relung-relung hati umat manusia.

Dan sesuatu itu berarti, bahkan sangat berarti, sehingga patut berada dalam hati banyak orang dalam waktu yang sangat lama yang kemudian menular pada generasi di bawah mereka hingga seterusnya. Yang ketika mereka membicarakannya, mereka akan kagum. Akan lebih baik jika mereka memiliki kesadaran untuk berterima kasih. Lebih jauhnya, mereka akan menunjukkan sikap menghargai. Legenda itu adalah inspirasi, bagian yang membentuk filosofi dan tindakan mereka. Kemudian, bukan tidak mungkin legenda baru akan muncul dan membentuk siklus yang sama.

Tokoh-tokoh dalam kisah—dari yang saya sebutkan—membangun legenda mereka. Peluh, air mata, cinta, keyakinan, usaha keras, dan tentu saja keputusan Tuhan adalah material berharga pembangunnya.

Maka legenda bermula dari semua hal yang telah saya sebutkan di atas. Dan, dalam hal ini, legenda itu nyata.

Selasa, 02 Maret 2010

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) ^.~v

Saya tertawa kecil ketika mendengar celetukan yang terlontar dari seorang mahasiswa junior di kampus. Seringnya, istilah CLBK yang saya dengar itu merupakan kepanjangan dari “Cinta Lama Bersemi Kembali”. Yang ini, kedengarannya lebih kocak. Dan, sebenarnya ada hal lain juga yang saya tertawakan. Pengalaman saya baru-baru ini.
Hmmm..cinta seperti apakah itu? Menurut saya, ini adalah salah satu jenis cinta mati! ;D

Tentang seseorang? Hehehe.. Lebih tepatnya cinta mati sama biskuit berinisialkan J.

Pernah di suatu masa (kalau gak salah waktu saya SMP) saya tergila-gila dengan biskuit J, terutama yang vegetable added. Saking tergila-gilanya saya, gak ada cemilan lain yang saya makan selain biskuit J! Bahkan kadang-kadang kalau saya lagi malas makan, biskuit J bisa jadi pengganti yang handal :D. Uang jajan, dihemat-hemat biar bisa beli biskuit J terus. Alasannya sebenarnya simpel, selain rasa gurihnya yang pas, biskuit J ini (kalo kata saya) cemilan tanpa rasa bersalah.. ceilee… Label “Hi-Cal”-nya cukup menggoda dan yang paling saya suka: no MSG added!!!

Mungkin karena keseringan makan biskuit J ( yang mana nampaknya saya makan itu biskuit melebihi jumlah rata-rata kebanyakan orang :p), suatu hari saya merasa rasa biskuit itu jadi aneh. Orang-orang rumah yang juga makan biskuit J (but, less than me..) bilang gak ada yang aneh dari rasa biskuit J. Seriusan nih????

Lama-lama rasa anehnya bikin saya eneg. Dan, akhirnya saya berhenti makan biskuit J. Ill feel sejadi-jadinya. Bahkan, cuma nengok bungkusnya aja males.

Setelah dihitung-hitung, nampaknya udah 8,5 tahun saya gak makan biskuit J. Mikirin itu aja kayaknya enggak..hehe.. sampai tiba saatnya…

Waktu itu, weekend, saya ke tempat Mbak dengan perut keroncongan, berharap dapat traktiran sarapan. Tapi, harapan tidak sesuai kenyataan. Yang ada, saya malah disodori satu sachet kecil biskuit J! yang vegetable added lagi!!! Beuhhh… you again?? Rasanya, saya males makan tu biskuit. Tapi, saya gak punya pilihan lain. Perut udah gak kuat lagi nahan laper. Satu-satunya makanan yang bisa mengganjal adalah biskuit J (kecian…kecian…^^). Akhirnya, dengan perlahan, satu biskuit J masuk ke mulut.

Satu biskuit masuk, sensasi yang terasa beda. Saya jadi terbawa ke masa di mana saya tergila-gila dengannya. Oh..memori…hehehe… (lebay mode: on). Terus, saya malah tergoda untuk nambah satu biskuit lagi. Hmm.. emang, ini rasa gurih yang membuat saya jatuh cinta..(halaahh). Biskuit ketiga, saya cium harumnya itu biskuit. Hmmm..wanginya tetap sama dengan dahulu kala…dan..emm….kriukk!!

That’s the real you!! I find you back, my love!!!
Jatuh cinta lagi... Lagi-lagi ku jatuh cinta!! :p

Habis satu bungkus kecil, saya minta tambah lagi. Untunglah Mbak punya masih punya satu dus lagi, hehehe... Tapi, satu dus itu gak saya “rampok” dengan semena-mena. Karena saya pikir, saya gak mau dapet rasa yang aneh itu sekali lagi (because I’d had them too much!). Cukup, gak usah sampai puas banget. Biar kalau saya makan lagi itu biskuit, rasa dan harumnya tetap sama. Tetap menggetarkan hati … Intinya, saya jadi gak mau ngelarin cinta saya sama biskuit J (wkwkwkwkwkwkwkwk ;p)

Memang bener.. segala sesuatu yang berlebihan itu gak baik, gak enak! Sekalipun kita cinta mati sama sesuatu.