Senin, 15 Maret 2010

Anak-Anak Legenda

18.45, kamar 29, Depok.

Saya kelelahan dan sempat terkapar selama beberapa menit setelah pulang dari kampus. Serangan flu yang semakin mewabah akhir-akhir ini membuat saya merindukan kasur dan selimut hangat. Ketika pada akhirnya, guyuran air “menghidupkan” saya kembali. Kemudian, saya segera menyeduh teh hijau dengan harapan virus flu ini tidak akan betah berlama-lama singgah di tubuh dan saya bisa tetap “hidup”.. ^^,v

Sambil memainkan sendok di dalam gelas yang mengepul, mata saya menangkap bentuk tulisan menarik: “Negeri 5 Menara”. Tercetak begitu manis di sisi tebal bukunya. Seketika itu, terlintas dalam pikiran saya: “Anak-anak legenda”.
Ya, “Anak-anak legenda”, begitulah yang terlintas. Apa yang membuat seseorang, sesuatu, atau kelompok pantas berada dalam suatu kisah, khususnya novel? Kalau lebih dikhususkan lagi novel "best seller" yang dipuja-puji karena inspiratif,sarat makna, dan diilhami dari kisah nyata—mulanya dari novel.

Kenapa saya menyebut mereka anak-anak legenda? Terlintas dalam benak, ketika saya ingat bagian cerita “It’s Show Time” dalam “Negeri 5 Menara” kemudian parade karnaval eksotis—saya tak ingat subjudulnya—di Laskar Pelangi.
Mereka mencipta sesuatu yang berbeda. Fenomenal dan tidak biasa. Sesuatu yang huge, extraordinary, magnificent. Di mana semua mata secara alami tertuju padanya dan decak kagum yang keluar begitu spontan—kadang-kadang saya berpikir: apakah saya yang terlalu imajinatif dalam membayangkan bagian cerita itu ya??.

Hal yang saya suka adalah mereka bekerja keras dengan tetap berupaya penuh memelihara keyakinan mereka. Bagaimanapun, menjaga keyakinan agar tetap kokoh itu memang banyak godaannya. Hal kedua yang saya suka, selalu ada orang-orang berjasa di belakang mereka. Ada sosok karakter kuat yang juga mengilhami mereka. Mereka sebenar-benarnya tidak pernah berjalan sendirian. Hal ketiga, mereka selayaknya manusia.

Dalam kisah-kisah yang sudah saya telan bulat-bulat, para tokoh menemui “celanya” masing-masing sebagai manusia. Mereka memiliki kelemahan. Mereka juga merasakan takut. Berbagai macam perasaan takut akibat persoalan hidup yang nampaknya juga kita jumpai dalam masing-masing hidup kita. Takut akan kegagalan, takut akan penolakan, takut akan dihukum, takut melanggar norma/adat, dan yang lainnya. Mereka pernah jatuh—cermati kata “pernah”—gagal, merasakan kesedihan yang juga mengarah pada depresi dan kepesimisan. Mereka kehilangan seseorang atau sesuatu yang dicintai.

Hanya dengan mengingat kisah-kisah kecil itu mungkin berlebihan rasanya untuk sampai pada sebuah kata “legenda”. Ya, betul! Maka kemudian, hal tersebut mengantarkan saya pada ingatan biografi Malcolm X, Nelson Mandela, dan beberapa tokoh besar berjasa lainnya—yang tak mungkin saya jabarkan semuanya di sini karena bukan itu intinya. Tentu saja mereka tidak—atau hanya—membuat pentas yang fenomenal seperti yang tadi-tadi.

Mereka mencipta peristiwa, penggerak perubahan. Untuk lebih mendramatisirnya: Mereka membuat suatu gebrakan fenomenal—yang nampaknya bisa berdampak sistemik. Hal yang menguatkan ketiga kata positif tadi—¬huge, extraordinary, magnificent—adalah mereka melakukannya lebih dari sekedar menciptakan kejayaan diri. Akan tetapi, untuk orang lain, kelompok, bangsa, negara, dan agama. Sesuatu yang melampui ego mereka. Sesuatu yang menyelusup ke dalam kepala dan relung-relung hati umat manusia.

Dan sesuatu itu berarti, bahkan sangat berarti, sehingga patut berada dalam hati banyak orang dalam waktu yang sangat lama yang kemudian menular pada generasi di bawah mereka hingga seterusnya. Yang ketika mereka membicarakannya, mereka akan kagum. Akan lebih baik jika mereka memiliki kesadaran untuk berterima kasih. Lebih jauhnya, mereka akan menunjukkan sikap menghargai. Legenda itu adalah inspirasi, bagian yang membentuk filosofi dan tindakan mereka. Kemudian, bukan tidak mungkin legenda baru akan muncul dan membentuk siklus yang sama.

Tokoh-tokoh dalam kisah—dari yang saya sebutkan—membangun legenda mereka. Peluh, air mata, cinta, keyakinan, usaha keras, dan tentu saja keputusan Tuhan adalah material berharga pembangunnya.

Maka legenda bermula dari semua hal yang telah saya sebutkan di atas. Dan, dalam hal ini, legenda itu nyata.

Selasa, 02 Maret 2010

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar) ^.~v

Saya tertawa kecil ketika mendengar celetukan yang terlontar dari seorang mahasiswa junior di kampus. Seringnya, istilah CLBK yang saya dengar itu merupakan kepanjangan dari “Cinta Lama Bersemi Kembali”. Yang ini, kedengarannya lebih kocak. Dan, sebenarnya ada hal lain juga yang saya tertawakan. Pengalaman saya baru-baru ini.
Hmmm..cinta seperti apakah itu? Menurut saya, ini adalah salah satu jenis cinta mati! ;D

Tentang seseorang? Hehehe.. Lebih tepatnya cinta mati sama biskuit berinisialkan J.

Pernah di suatu masa (kalau gak salah waktu saya SMP) saya tergila-gila dengan biskuit J, terutama yang vegetable added. Saking tergila-gilanya saya, gak ada cemilan lain yang saya makan selain biskuit J! Bahkan kadang-kadang kalau saya lagi malas makan, biskuit J bisa jadi pengganti yang handal :D. Uang jajan, dihemat-hemat biar bisa beli biskuit J terus. Alasannya sebenarnya simpel, selain rasa gurihnya yang pas, biskuit J ini (kalo kata saya) cemilan tanpa rasa bersalah.. ceilee… Label “Hi-Cal”-nya cukup menggoda dan yang paling saya suka: no MSG added!!!

Mungkin karena keseringan makan biskuit J ( yang mana nampaknya saya makan itu biskuit melebihi jumlah rata-rata kebanyakan orang :p), suatu hari saya merasa rasa biskuit itu jadi aneh. Orang-orang rumah yang juga makan biskuit J (but, less than me..) bilang gak ada yang aneh dari rasa biskuit J. Seriusan nih????

Lama-lama rasa anehnya bikin saya eneg. Dan, akhirnya saya berhenti makan biskuit J. Ill feel sejadi-jadinya. Bahkan, cuma nengok bungkusnya aja males.

Setelah dihitung-hitung, nampaknya udah 8,5 tahun saya gak makan biskuit J. Mikirin itu aja kayaknya enggak..hehe.. sampai tiba saatnya…

Waktu itu, weekend, saya ke tempat Mbak dengan perut keroncongan, berharap dapat traktiran sarapan. Tapi, harapan tidak sesuai kenyataan. Yang ada, saya malah disodori satu sachet kecil biskuit J! yang vegetable added lagi!!! Beuhhh… you again?? Rasanya, saya males makan tu biskuit. Tapi, saya gak punya pilihan lain. Perut udah gak kuat lagi nahan laper. Satu-satunya makanan yang bisa mengganjal adalah biskuit J (kecian…kecian…^^). Akhirnya, dengan perlahan, satu biskuit J masuk ke mulut.

Satu biskuit masuk, sensasi yang terasa beda. Saya jadi terbawa ke masa di mana saya tergila-gila dengannya. Oh..memori…hehehe… (lebay mode: on). Terus, saya malah tergoda untuk nambah satu biskuit lagi. Hmm.. emang, ini rasa gurih yang membuat saya jatuh cinta..(halaahh). Biskuit ketiga, saya cium harumnya itu biskuit. Hmmm..wanginya tetap sama dengan dahulu kala…dan..emm….kriukk!!

That’s the real you!! I find you back, my love!!!
Jatuh cinta lagi... Lagi-lagi ku jatuh cinta!! :p

Habis satu bungkus kecil, saya minta tambah lagi. Untunglah Mbak punya masih punya satu dus lagi, hehehe... Tapi, satu dus itu gak saya “rampok” dengan semena-mena. Karena saya pikir, saya gak mau dapet rasa yang aneh itu sekali lagi (because I’d had them too much!). Cukup, gak usah sampai puas banget. Biar kalau saya makan lagi itu biskuit, rasa dan harumnya tetap sama. Tetap menggetarkan hati … Intinya, saya jadi gak mau ngelarin cinta saya sama biskuit J (wkwkwkwkwkwkwkwk ;p)

Memang bener.. segala sesuatu yang berlebihan itu gak baik, gak enak! Sekalipun kita cinta mati sama sesuatu.

Perihal Menulis

Wewwwwwwwwww... akhirnya saya punya blog (lagi):D
Walaupun sempat "libur" dari kegiatan tulis menulis dan jadi canggung kembali untuk memulai, nampaknya saya tetap kembali dan sulit untuk melepaskan diri sepenuhnya..
Menulis itu ekspresi..
Menulis itu ungkapan..
Menulis itu rindu.
Menulis itu pelampiasan..
Menulis itu melatih kepekaan diri..
Menulis itu untuk berbagi..
Menulis itu peduli..
Menulis itu membuka pikiran..
dan seterusnya.. hingga menjadi:

Menulis itu jiwa..