Jumat, 17 Desember 2010

"Sampai Kapan?"

Alhamdulillah,
Thanks God it's Friday and it's *maybe* holiday..(ngareep..)

Hmm... senangnya kalo peer-peer dah pada beres dan dari pagi bisa browsing sana sini, trus bisa posting lagi... :D

Beberapa waktu lalu, terbersit sebuah pertanyaan sederhana: "Sampai kapan?"
Pemicunya juga sederhana, hanya dari sebuah obrolan ringan yang saya sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Obrolan para orang tua. Bukan maksud menguping, tapi memang mau tidak mau jadi ikut mendengar karena saya duduk dekat dengan mereka. Salah seorang ibu bercerita bahwa ia selalu mengantar anaknya, kelas 3 SD, ke SD yang tidak jauh dari rumahnya. Ibu yang lain bertanya yang isinya kira-kira begini, "Sampai kapan kamu mau nganterin anakmu?" Yah, begitulah pembicaraan sempat membuat sedikit perdebatan. Si ibu memberikan alasan bahwa anaknya yang dianggap masih kecil itu harus menyeberang jalan raya yang ramai sehingga masih perlu dijaga. Ibu yang bertanya menimpali, "Kan masih bisa diajarin to Bu..biar mandiri.."
Begitulah, percakapan berlanjut terus dan topiknya malah melebar. Saya tidak akan membahasnya lebih jauh.

Pertanyaan "Sampai kapan?" *tidak perlu sampai ke ujung kalimatnya* itu mengusik saya. Menimbulkan berbagai pertanyaan kepada diri saya. Pertanyaan tentang masa yang saya jalani selama ini. Sebutlah kehidupan yang membaikkan itu adalah kualitas kehidupan seseorang pada hari ini lebih baik dari hari kemaren, hari esok jauh lebih baik dari hari ini. Ah, saya rasa saya masih pontang panting untuk bisa seperti ini. Kadang masih terlena dengan kebiasaan yang buruk, sia-sia, dan tidak bermanfaat.
Misalnya, seperti ini:
Saya sering menunda-nunda tugas dan baru mengerjakannya menjelang deadline. Padahal di satu sisi, saya tahu itu bahwa itu tidak baik, bikin stress, bikin kurus, kualitas hasilnya tidak sebaik yang diharapkan. Tapi, di kemudian hari terulang lagi.
Lalu, bagian dari superego saya bertanya seperti ini: "Mau sampai kapan menunda-nunda tugasnya?"
Ego saya menjawab: :"Tapi, kan selesai tepat waktu juga. Baru bisa mikir kalo dah deket deadline *gak beres....jangan diikuti yaah :p*

Reaksi ego saya memberikan excuse atas perilaku saya. Mungkin itu yang menyebabkan saya mengulanginya lagi dan lagi. Membayangkan itu saya jadi senyum simpul sendiri. Pertanyaan itu sebenarnya membuat saya berpikir lebih jauh. Saat ini mungkin saya bisa melewatinya dengan kebiasaan saya itu, tapi nanti bagaimana? Toh, semakin bertambah umur saya, tuntutan hidup pun berbeda dan semakin beragam. Bukan tidak mungkin beban tugas semakin banyak. Apakah saya bisa bertahan dengan perilaku saya itu?

Di sisi lain, saya juga bermimpi punya kehidupan yang sukses, keluarga yang bahagia, seimbang, dan bisa berkontribusi ke masyarakat. Oh, mungkin kalau saya mau terus-terusan seperti itu, yah jangan menuntut terlalu banyak dalam hidup. Terima saja, kalau hidup saya nanti pas-pasan. Terima saja, tidak perlu iri kalau nanti teman-teman terdekat saya bisa sukses jaya gemilang. Terima saja, kalau nanti kerjaan saya itu mungkin monoton, tidak menarik dan tidak menantang. Wahhh, kira-kira saya mau nggak ya seperti itu?"

Hmm... lalu superego saya bertanya lagi, "Mau sampai kapan ber-excuse terus?" 6(o.0)"

Pertanyaan-pertanyaan "Sampai kapan?" itu hanya pemicu. Sekedar pertanyaan awal untuk merefleksi hidup, berpikir lebih jauh, mengusik keadaan kita yang terlena. Selebihnya, diri kita yang akan menjawab dan bertanya ini-itu kembali. Tapi, saya rasa tidak baik juga kalo hal itu membuat kita terlalu lama berkutat dalam pikiran, arahnya kemana-mana dan tidak punya tujuan jelas. Sisi subjektif saya ingin pertanyaan ini menjadi titik mula untuk dapat bertindak lebih matang.

Yah, begitulah... dari semua hal yang saya tuangkan sampai sini, jadi tercetus lagi pertanyaan "Jadi, apa paling penting dalam hidup ini? Apa yang paling penting untuk dicapai?" Hehe.. mudah-mudahan bisa menjadi penguat agar bisa sampai pada perilaku nyata.